Industri kelapa sawit di Indonesia menjadi salah satu sektor strategis dengan luas areal mencapai 15,38 juta hektar dan produksi minyak sawit hingga 48,23 juta ton pada 2022. Industri ini menyerap lebih dari 18 juta tenaga kerja, termasuk sekitar 7,6 juta buruh perempuan. Namun, di balik kontribusinya yang besar, para buruh sawit kerap menghadapi risiko kecelakaan kerja, rendahnya perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta paparan bahan agrokimia yang membahayakan kesehatan.
Data dari BPJS Ketenagakerjaan pada 2021 mencatat lebih dari 234 ribu kasus kecelakaan kerja dengan 6.552 korban meninggal, menunjukkan lemahnya implementasi K3. Kondisi ini diperparah oleh status mayoritas buruh sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) dengan upah di bawah ketentuan minimum dan tanpa jaminan sosial. Minimnya regulasi yang relevan serta belum diratifikasinya beberapa Konvensi ILO memperburuk situasi, sehingga hak buruh dalam perlindungan kerja layak masih jauh dari ideal.
Melihat urgensi tersebut, Koalisi Buruh Sawit (KBS) bersama lembaga riset Profundo pada 2024 meneliti dampak penggunaan bahan agrokimia di perkebunan. Hasilnya menegaskan adanya risiko serius terhadap kesehatan buruh, terutama pekerja perempuan yang lebih rentan terhadap paparan kimia. Kajian ini juga merekomendasikan langkah-langkah perbaikan yang ditujukan kepada pemerintah, pengusaha, organisasi seperti RSPO, serta asosiasi industri seperti GAPKI untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan buruh.
Sebagai tindak lanjut, KBS menyelenggarakan Nasional Multistakeholder Dialog pada 19 Februari 2025 di Jakarta. Forum ini mempertemukan buruh, serikat pekerja, pemerintah, akademisi, pengusaha, hingga organisasi internasional untuk mendiskusikan dampak penggunaan agrokimia sekaligus mencari solusi bersama. Diharapkan, dialog ini tidak hanya menjadi wadah berbagi pengalaman, tetapi juga melahirkan rekomendasi konkret guna memperbaiki kondisi kerja buruh sawit dan mewujudkan praktik perkebunan yang lebih berkelanjutan.