KBS – Permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sektor perkebunan sawit Kalimantan Selatan masih menjadi kekhawatiran utama ribuan pekerja.
Estimasi nasional terbaru menunjukkan bahwa setiap tahun hingga 7.000 kasus kecelakaan kerja di perkebunan sawit wilayah ini.
Konfederasi Serikat Buruh Sawit Kalimantan (K-Serbusaka) menegaskan, angka tersebut meliputi insiden ringan hingga berat, namun jumlah riil diduga lebih tinggi karena banyak kejadian yang tidak didokumentasikan secara resmi, mencerminkan lemahnya sistem pelaporan internal perusahaan.
Dampak lain yang tak kalah serius adalah tingginya penyakit akibat kerja pada buruh sawit. Para pemanen dan pengangkut tandan buah segar menghadapi risiko gangguan tulang dan otot (musculoskeletal disorders/MSDs) karena beban kerja fisik yang berat dan berulang.
Pekerja unit penyemprotan dan pemupukan juga berada dalam ancaman besar karena paparan pestisida dan pupuk kimia berbahaya. Akibatnya, banyak buruh mengalami gangguan pernapasan, iritasi kulit, masalah kesehatan mata, bahkan kerusakan organ dan risiko kanker.
Hingga kini masih banyak ditemukan pekerja perempuan hamil yang tetap ditugaskan di unit penyemprotan, padahal jelas hal tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan ibu dan janin.
Secara nasional, terdapat sekitar 370.000 kasus kecelakaan kerja di seluruh sektor, dengan perkebunan menyumbang hingga 60,5% atau sekitar 224.000 klaim.
Di Kalimantan Selatan, tegas Konfederasi Serikat Buruh Sawit Kalimantan (K-Serbusaka), dengan luas perkebunan sawit mencapai 427.000–497.000 hektare atau 2,5–3% dari total nasional, estimasi kasus kecelakaan kerja bisa mencapai 7.000 per tahun.
Studi lapangan Serbusaka pada 2025, mencatat lebih dari 70% pemanen sawit mengalami gejala gangguan tulang dan otot. Sementara itu, pekerja penyemprot yang tidak menerima alat pelindung diri (APD) memadai berada pada risiko tinggi terkena penyakit kulit dan pernapasan
Buruh sawit mendesak adanya reformasi menyeluruh terhadap sistem pencatatan, pelaporan dan penanganan kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja di setiap perusahaan. Mereka menuntut keterbukaan data agar seluruh kasus terangkum dan segera mendapat penanganan.
Selain itu, perusahaan diminta menyediakan APD berkualitas sesuai standar internasional bagi seluruh pekerja—khususnya di divisi penyemprotan dan pemupukan—serta rutin mengadakan pelatihan K3 dan pemeriksaan kesehatan berkala setiap 6–12 bulan.
Infrastruktur seperti jalan untuk memudahkan akses dan fasilitas ambulans di lingkungan perkebunan dinilai sangat penting untuk mencegah dan merespons kecelakaan dengan cepat.
Industri sawit yang berkelanjutan tidak bisa hanya bicara soal sertifikasi ekspor. Keberlanjutan sejati dimulai dari perlindungan nyawa dan kesehatan buruh sawit